Kota Makassar, sebagai ibukota provinsi Sulawesi Selatan, bukan hanya terkenal dengan keindahan alamnya, tetapi juga dengan kekayaan kuliner yang memanjakan lidah setiap penikmatnya. Dalam keberagaman kuliner khas Makassar, terdapat satu hidangan yang tak hanya lezat tetapi juga sarat dengan sejarah dan budaya : Coto Makassar.
Dengan bahan dasar daging sapi dan jeroan, seperti hati, limpa, jantung, dan babat, Coto Makassar menjadi simbol kekayaan rasa dan keunikan cita rasa kuliner Sulawesi Selatan. Apa yang membuat Coto Makassar begitu istimewa, selain dari daging yang digunakan, adalah paduan rasanya bersama buras (ketupat khas Makassar) dan sambal taoco yang khas.
Makassar, seperti kota-kota lain di Indonesia, memiliki warisan kuliner yang kaya. Mulai dari ulu juku, apang, jompo-jompo, barongko, pallumara, hingga pisang epe dan pisang ijo. Namun, Coto Makassar memenangkan hati tidak hanya masyarakat lokal tetapi juga meraih penghargaan internasional. Festival Kuliner “Pesta Juadah 2011” yang diselenggarakan oleh Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) Malaysia menjadikan Coto Makassar sebagai Juara Pertama, mengalahkan 34 peserta kuliner dari berbagai negara.
Sejarah panjang Coto Makassar membawanya kembali ke zaman Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1538 Masehi. Hidangan ini bukan hanya makanan umum tetapi juga favorit keluarga kerajaan pada masa itu. Kehadiran Coto Makassar dipercaya memiliki jejak budaya dari pedagang Spanyol, Portugis, India, Cina, dan Kamboja yang menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangan rempah-rempah sebelum menuju Eropa.
Pengaruh budaya Arab dan India terasa kuat pada rasa gurih berkuah Coto Makassar, yang merupakan hasil perpaduan santan dan susu. Sementara akulturasi dengan budaya Cina terlihat pada variasi kue dan es dalam kuliner Makassar. Rempah-rempah seperti pala, merica, kayu manis, jintan, dan lainnya, memberikan sentuhan khas dari budaya Timur Tengah.
Keunikan Coto Makassar tidak hanya berada pada bahan dan rempah-rempah yang digunakan, tetapi juga pada proses peramuannya. Tradisionalnya, Coto Makassar diramu dengan teliti di dalam kuali tanah liat yang disebut korong butta atau uring butta. Rempah patang pulo, yang terdiri dari 40 macam rempah khas Nusantara, menjadi ciri khas pembuatan hidangan ini.
Menikmati Coto Makassar bukanlah sekadar menyantap makanan. Ada aturan khusus yang diikuti oleh masyarakat setempat. Hidangan ini tidak cocok untuk sarapan, makan siang, atau makan malam. Coto Makassar dinikmati sebagai makanan perantara, biasanya dijamu antara pukul 09.00 pagi hingga 11.00 siang. Disajikan dalam mangkuk kecil dan sendok bebek, kenikmatan Coto Makassar semakin lengkap bila disandingkan dengan ketupat, buras, atau burasa, dan sambal taoco.
Coto Makassar, sebuah perjalanan kuliner melalui waktu dan budaya, menawarkan lebih dari sekadar rasa lezat. Ia membawa cerita panjang tentang keberagaman, kekayaan, dan keindahan Makassar yang melebur dalam sebuah mangkuk. Sebuah kuliner yang tak hanya memanjakan lidah tetapi juga menyuguhkan warisan budaya yang patut dijaga dan diselamatkan.